Bunda, aku sayang Bunda...
Jatinangor, 26 April 2012
18.18
Ost. Bunda-Melly Goeslaw
Bunda, aku sayang Bunda...
Dear myblog,
Malam ini selepas sholat maghrib,, entah kenapa ingin ku
curahkan sesuatu. Dalam kehampaan dan kegamangan diri, air mata tiba-tiba
terjatuh dalam doaku. Di atas sajadah dan masih berbalut mukena, dalam doaku
yang kutujukkan untuk kedua orangtuaku, tiba-tiba terbayang sebuah dosa besar
yang aku lakukan. Ya Allah, aku mencintai mereka, tapi hamba tidak ingin rasa
ini hanya sekedar kata-kata.
Sejak 8 April 2012 hingga malam ini aku belum kembali ke rumah. Tanggal
9 April ada ujian praktikum Farmasetika Dasar yang memaksaku untuk ikut belajar
bersama Desy untuk mengasah kemampuan dalam menganalisis resep. Saat 14 April
aku tak pulang karena aku harus menjalani ujian tengah semester genap pada
tanggal 16-nya.
Hampir tiga minggu aku tak kembali ke rumah, alasannya bukan
karena aku tak merindukan sosok hamba Allah yang bersedia menerima amanah aku
menjadi insan bimbingannya. Alasan terkuat adalah karena aku “sibuk” dan aku
ingin mengemban kepercayaan orangtua yang menyekolahkan aku di sini. Aku ingin
membanggakan mereka walaupun bukan IP yang bagus ataupun dengan prestasi
keorganisasian. Hanya satu yang ingin aku tunjukkan, AKU BISA MEMEGANG
KEPERCAYAAN PAPAH. Hanya itu saja.
Sebelum—selama—setelah UTS, aku tidak mengabari ataupun meminta
doa mereka. Aku paling anti mengirim pesan untuk sekedar memberi tahu “Pah, Ma.
Hari ini aku ujian. Mohon doanya agar aku diberi kemudahan.” Dalam pikiranku
yang muncul adalah –kalau aku nge-sms itu, aku takut mereka khawatir dengan
pola belajar aku-*hanya itu papah, aku gak mau kalian khawatir.
Selama tiga minggu aku hanya sekali berkomunikasi dengan
kakakku, itupun hanya pembahasan singkat. Kakakku tak pernah memberikan
informasi apapun dengan apa yang sedang terjadi di keluarga.
Selama lebih dari dua minggu ini, secara personal aku selalu
meng-upgrade semangat belajar-semangat berbagi-semangat dalam beribadah-baca
buku motivasi dan keagamaan-ikut seminar sosial, tapi aku melupakan sesuatu AKU
TIDAK MELAKUKAN UPGRADING RASA CINTA PADA ORANG TUA.
Makhluk labil sepertiku memang kadang sulit memahami diri
sendiri. Kabar paling awal yang aku dapati pada 24 April -dari kakak ketigaku
adalah “Dil, Mang Yayat meninggal, sekarang papahdi Bandung.” Innalillahi wa
inna ilaihi roji’un---semoga iman dan islamnya diterima di hadapan Allah,,
amiin.
Setelah itu aku tak dapat kabar apapun. Besoknya sore hari 25
April, saat papahsudah di rumah, beliau meneloponku. Beliau menanyakan kabarku,
*anak macam apa aku ini, malah orangtua yang nanyain kabar duluan?
Disela-sela pembicaraan, papah bilang keadaan kakak ketigaku
yang lagi kena gejala typhus, serta kabar mamaku yang ternyata melakukan
semacam operasi kecil karena ada semacam benjolan kecil di jarinya. Saat itu
aku benar-benar terkejut, selama ini aku tak tahu kabar ibuku sendiri. Aku
terdiam saat ayah masih berbicara. Otakku terasa panas-dingin seolah-olah
menjadi lipatan-lipatan kosong tanpa nurani. Ya Allah, apa yang kulakukan
selama ini?
Setelah pembicaraan berakhir, aku termangu dengan tatapan kosong
layaknya sebongkah kayu bernisan “manusia”, yang sudah tak berjiwa. Tak ada
pembelaan terhadap diri yang mampu kulakukan, INI SEMUA SALAHKU.
Agak terkesan egois ketika aku ingin membuat mereka tidak khawatir
dengan keberadaanku. Dalam kenaifan aku ingin menunjukkan kemandirianku sebagai
anak bungsu, tapi caraku salah.
Hari ini aku menangis, entah apa yang harus aku lakukan. Air
mata semakin mengalir ketika ku kenang kalimat terakhir yang aku dengar pada 7
Aplir 2012, saat aku dalam pelukan mama, mama yang sedang kurang enak badan
bilang,” Ini mama sakit kayaknya gara-gara kangen sama si bungsu.” Hatiku
teriris mengenang kalimat paling indah yang pernah kudengar darinya. Aku memang
tidak cukup akrab dengan mama karena beberapa perbedaan pendapat yang
mengharuskan aku untuk mengalah sebagai seorang anak. Karena keempat kakakku
sudah cukup dewasa, mama memperlakukanku sama. Kadang orang lain tak percaya
bahwa aku anak bungsu.
Terpikir olehku untuk bercerita, bukan pada hamba Allah, tapi
melalui tulisan ini. Di depan laptop aku memasang desktop gambar yang kubuat
sendiri, sebuah tulisan-tulisan tanda kecintaanku pada ayah, ibu, dan
kakak-kakakku. Tiba-tiba aku merasakan tamparan keras. Aku ingat, ini adalah gambar
yang ku pasang menjadi cover di akun sosialku, cover yang kuunggah pada pagi
hari 25 April 2012, beberapa jam sebelum aku mengetahui kabar kesehatan kakak
dan ibuku. Ya Allah, apalah artinya tulisan-tulisan yang ku tulis dan ku pasang
sebagai ekspresi cintaku sedangkan kelakuanku masih MINUS?
Diiringi lagu Bunda-Melly Goeslaw, Hanya Satu Pintaku-Mocca,
Ayah-Peterpan, dan Ketika Kaki dan Tangan Berkata-Chrisye aku tulis tulisan
ini.
Tepat setelah kalimat di atas akhirnya aku menelopon kakakku. Ku
tanyakan kabarnya, aku bilang “Sebagai mahasiswa farmasi, maaf ya Dilla belum
bisa ngasih apa-apa buat jaga kesehatan teteh.” Hanya kabar kakakku yang ku
tanyakan. Entah kenapa lidah ini tiba-tiba kehilangan kosakata hanya untuk
sekedar menanyakan kabar hamba Allah yang telah mendidikku sejak aku dalam
kandungan. Setelah kututup pembicaraan, akhirinya aku mengirim pesan.
Teh, bilang ke mamah. Salam bakti dari si bungsu yang belum
dewasa. Mohon maaf soalnya baru tahu kabar kesehatan mamah sekarang. Mudah-mudahan
kesehatan mamah bisa kembali seperti sedia kala. Jagain mamah yah teh, atur
pola makan dan istirahat mamah. Salam cinta dalam setiap doaku.
Setelah aku mengirim pesan, aku kembali terpaku pada desktop
laptopku, ya..di sana kutulis aku ingin memberikan sesuatu di hari ulang
tahunku ke 20 nanti, di 10 Oktober 2012.
Ceritanya seperti ini. Sempat terpikir olehku, di 11 Oktober
2011, sehari setelah aku berulang tahun. Aku merenungi sesuatu, kenapa selama
ini orang-orang memberikan hadiah pada anaknya, padahal yang berjasa kan
ibunya. Tepat pada hari itu juga, aku bertekad aku ingin memberikan kado di
ulang tahunku nanti.
Lama aku berpikir. Di bulan Maret aku mendapat sedikit target.
Selama ini mamaku belum memiliki Al-Quran yang mencakup Asbabunnuzul-nya, aku
ingin menghadiahkan itu pada mama. Makanya saat salah satu temanku mengajak
untuk mencari kitab itu di bulan April, aku bilang “belinya tidak
terburu-buru.”
Tapi sekarang aku tersadar,, orang tua tidak selalu bahagia
dengan sebuah pemberian dari anaknya, yang mereka inginkan hanya dua hal
ANAKNYA MENJADI ANAK YANG SHOLEH DAN MEMILIKI KEHIDUPAN YANG JAUH LEBIH BAIK
DARIPADA MEREKA.
Ya Allah, andaikan esok kau mencabut nyawaku,, apa yang telah
aku berikan pada orangtuaku? Dan satu hal yang paling aku sesalkan, kenapa aku
harus menunggu memberikan sesuatu di hari yang aku tetapkan sendiri “10 Oktober
2012” sedangkan aku tidak mengetahui ketatapan Allah sebelum tanggal yang ku
tetapkan? Bagaimana jika sebelum tanggal itu raga kami tak dapat bertemu?
Aku sadar, tak selamanya—tidak memberi kabar adalah hal baik
untuk mengurangi kekhawatiran orangtua,, tak selamanya—berlaku tegar adalah
cara menyayangi mereka, intinya ekspresikan rasa cintamu KAPANPUN. Walaupun orangtuamu cuek, ekspresikan rasa cintamu
se-luarbiasa mungkin,, BUKAN SEKEDAR DARI IDE UNTUK MENCINTAI-TULISAN RASA
CINTA-KALIMAT RASA CINTA- TAPI MELALUI AKHLAKMU.
Semoga catatan ini bermanfaat buat teman-teman.
Terimakasih.
waaah..asik ..dilla punya blog...
BalasHapusiih...ini udah lama kang-cuman smpet lupa password_jd jarng dbka.
Hapus