mengapa sulit "memaafkan"?
Yeppee!
Dapet inspirasi buat nulis celotehan ini setelah membaca tuntas e-magazine Percikan Iman
edisi Mei 2012 [makasih buat redaksi yaaa].
Aku
terkesan pada tiga hal di sana. Ada kisah Kang Rendy yang menemukan “berlian” di
luar bangku kuliah, tips smart parenting, dan rubrik fokus mengenai “maaf”.
Jadi
teringat kisah yang aku alami, temen-temen. .-___-,,Maaf adalah kata yang sebenarnya ringan namun kadang mahal untuk
diucapkan. Kadang yang menjadi kendala adalah bukan pada saat kita meminta
maaf, tapi bagaimana dengan ikhlas kita memafkan kesalahan orang lain.
Well,
gak akan ada asap kalau gak ada api~kan? Orang gak akan marah
dan kesal tanpa sebab. Ya, ucapan-perbuatan-pemikiran adalah satu kesatuan yang
seharusnya balance. Kala kita berpikan “a” tentang seseorang, terus ucapan gak
bisa dikontrol, pasti jadi bikin sakit hati. Ya,, pertama, jaga lisan kita ya
temen-temen.. Yook kita pake filter yang lebih cihuy,, mempertimbangkan
baik-buruknya ucapan kita. Pasti temen-temen udah sering denger petuah ini: “Hati yang luka itu bagaikan paku tertancap di kayu atau tembok,
walaupun bisa dicabut tapi tetap saja menorehkan bekasnya”. Yup! Bener banget.
Tapi coba kita lihat dari dua sudut pandang. Di satu sisi petuah ini
mengajarkan kita agar senantiasa berhati-hati terhadap orang lain sebab kalau
ucapan atau tingkah laku kita menyakiti orang, lantas kita meminta maaf dan
dimaafkan, tapi tidak serta-merta menghapus ingatan dia bahwa “kita pernah
menyakitinya”. Oke, di sisi lain ini bisa jadi alasan “korban” yang kita
sakiti, bisa jadi dalih jika dia mengungkit-ungkit kesalahan kita. Misalnya nih
udah lamaaaa banget kita minta maaf, terus temen kita yang jadi korban ini lagi
bete gara-gara kesalahan kecil kita. Bisa aja dia berdalih “Eh, gue manusia ya!
Lu tau kan kalo kesalahan orang tuh kayak paku di tembok! Sekali nancap,
biarpun dicabut pasti ngebekas! Jangan lu pikir gue udah lupa salah lo.” Olala.
Masih diingat? Apa yang mesti dilakuin? Ketok kepalanya pake mortir? Oh..
tidak. Islam tidak mengajarkan treatment seperti itu kawan, karena Islam adalah
agama yang peacefull..hihi.
Oke,
pertama aku punya saran treatment buat temen-temen yang sulit sekali bilang
“maaf”. Kalau memang kata maaf masih terpenjara dalam lidahmu, gak ada cara
lain selain membebaskannya. Cara membebaskannya? Islam punya treatmentnya. Pertama,
kendalikan emosi temen-temen. Saat orang lain merasa tidak nyaman terhadap
kita, sadari apa kesalahan kita yang membuat dia marah. Ya.. walaupun terkadang
tak sepenuhnya salah kita, tapi dalam hal ini menjadikan diri sebagai
“tersangka” lebih baik dari pada mengelak. Mungkin saja ada tingkah kita yang
gak disengaja bikin temen kita kesinggung. Terus, kita mesti pinter ngebaca
situasi. Kapan temen-temen mau bilang “maaf” itu ada timmingnya. Beberapa temen
[terutama perempuan] saat marah punya “calming time”, ya.. waktu buat
menenangkan diri. Jangan sampai ketika temen-temen menyadari “x” ini marah,
lantas langsung mengejarnya dan bilang “maafin aku yaaaaa.”. Bisa jadi “x” ini
malah makin marah karena “calming time” dia diusik. Jadi, kenali waktu dan lawan bicara kita.
Yah,,
itu baru dikit. Kalau aku tulis opini-opiniku di sini semua, nanti kesannya aku
men”doktrin” tetem-temen.hihih. Oke, kalau temen-temen mau tau lebih banyak, bisa cari
referensinya [kalau bisa yang writternya jelas ya..] di e-book atau beli-pinjem
buku cetaknya. Oke?
Nah,,
buat temen-temen yang susah banget mau maafin, kenapa sih gak bisa maafin? Apa
susahnya maafin? Yah. Bilang “ya, gue maafin lu.” Emang terdengar gampang, tapi
ikhlas memaafkan itu yang susah, iya gak? Hm.. kita lihat kisahnya Rosulullah
SAW.
Mari kita tengok
bagaimana sosok Al-Quran berjalan, Nabi Muhammad Saw., mengaplikasikan ayat Allah
tersebut dalam kehidupan. Mungkin kita masih ingat bagaimana perilaku beliau
terhadap orang yang senantiasa meludahinya setiap kali berangkat ke masjid.
Tatkala si peludah itu tak terlihat batang hidungnya, Nabi mencari informasi
hingga akhirnya didapat bahwa si peludah itu sedang sakit. Jadilah Nabi sebagai
penjenguk pertama serta membawakannya makanan. Haru dan lantunan dua kalimat
syahadat terucap dari bibir sang peludah, reaksi akan agungnya akhlak Sang
Nabi. Atau, mungkin kita masih ingat ketika seorang pengemis Yahudi yang buta
kerap kali mencaci beliau. Namun, dengan sabar Nabi tetap menyuapinya setiap
hari, bahkan melembutkan makanan yang dibawanya agar mudah dikunyah oleh Si
Pengemis. Tentu saja, pengemis itu tidak tahu kalau orang yang meyuapinya
merupakan orang yang kerap dihinanya. Hingga suatu saat, ketika Nabi wafat, Abu
Bakar menggantikan “ritual” menyuapi pengemis Yahudi tadi. Karena sudah
terbiasa dengan tangan Rasulullah, dia merasakan perbedaan saat tangan orang
lain yang memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Saat si pengemis bertanya ke
mana orang yang biasa menyuapinya, Abu Bakar menjawab bahwa orang itu telah
meninggal, dan dia adalah manusia yang selalu dihinanya, Nabi Muhammad Saw.
Pecahlah tangis Si Pengemis. Singkat kata, mengalirlah kalimat syahadat
darinya. (Majalah Percikan Iman Edisi Mei 2012).
Dan
perlu diketahui temen-temen, ternyata memaafkan itu menyehatkan. Gak percaya?
Ini terbukti secara empiris looh. Memaafkan berimbas positif dengan kesehatan. Banyak psikolog yang telah melakukan penelitian mengatakan bahwa
memaafkan dengan tulus akan meringankan beban hidup. Worthington Jr., pernah
melakukan riset dengan menggunakan piranti pencitraan otak. Dua orang, yang
satu pemaaf dan yang satu pendendam, direkam pola gambaran otaknya. Hasil
percobaan menunjukkan, pendendam memiliki kecenderungan peningkatan kekentalan
darah, ketegangan otot, dan tekanan darah yang tidak stabil, bahkan cenderung
stres. Sedangkan yang terjadi dengan pemaaf justru sebaliknya, yakni tekanan
darah stabil sehingga kinerja tubuh menjadi optimal.
Memaafkan itu sungguh ajaib. Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat pada takwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 237).Dalam ayat lain, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (Q.S. An-Nuur [24]: 22). Rasulullah pun pernah bersabda, “Seseorang tidak dikatakan kuat karena dapat membanting lawan-lawannya. Tapi, orang yang kuat adalah dia yang mampu menahan emosinya saat marah.” (H.R. Bukhari).
Memaafkan itu sungguh ajaib. Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat pada takwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 237).Dalam ayat lain, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (Q.S. An-Nuur [24]: 22). Rasulullah pun pernah bersabda, “Seseorang tidak dikatakan kuat karena dapat membanting lawan-lawannya. Tapi, orang yang kuat adalah dia yang mampu menahan emosinya saat marah.” (H.R. Bukhari).
So?
Masih adakah alasan untuk tidak memaafkan?? Hmm...
Well,
closing statement aja ya temen-temen. Intinya mau minta maaf ataupun memaafkan
itu dua-duanya pekerjaan yang mulia. Yang penting pekerjaan ini gak semata-mata
kerjaan di bibir aja. Harus ada wujud aslinya melalui perbutan kita. Untuk yang
meminta maaf, iringi perbuatan kita dengan perbuatan yang lebih baik, dan
sebisa mungkin tidak mengulangi kesalahan. Mau kejeblos ke got yang sama?? Jangan
sampe lah yaaa. Hihi. Untuk yang memberikan maaf, semoga gak sekedar lisan
juga, ikhlas-lah dalam memberi maaf, karena itu derajatya lebih baik. Walaupun—mungkin
yang namanya “ikhlas” itu sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Iya kan?
Olala,
hampir kelar juga celotehannya. Sedikit pesan pribadi aja nih temen-temen, ada dua hal yang paling penting dalam bersosialisasi. Apa dua hal itu? KOMUNIKASI dan EMPATI. Penjabarannya seperti apa? Temen-temen bisa
jabarin sendiri [tapi jangan jabarin pake al-jabar ya... Karena ini bukan
kalkulus, bukan matematika...haha]. Jika dua hal ini bisa kita miliki dan kita
jaga, insya Allah kita bisa menjalani kehidupan sebagai “masyarakat” dengan
lebih baik.
Meminta maaf dan memaafkan
memang tak akan memperbaiki masa lalu, tapi akan memperindah masa depanmu
(ningrum, 2012).
Yoo,,
salam perubahan.
Demi
kisah kita yang lebih cihuyy.
Komentar
Posting Komentar