Kisah Ashabul Kahfi – Misteri #part2
Tiap
hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang
dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang
diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi
membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi
membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan
suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan
sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat
sekitarnya.
Kemudian
si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang
pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya,
sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat
sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu
terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang
harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja
itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia
tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala,
sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja
merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia
mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya
Allah SWT.
Raja
itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang
taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya.
Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti
kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa
mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja
itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Allah SWT.
Pada
suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana
mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang
memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah
kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan
sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati,
"Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam
orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha
menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha
untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan
tidak mau minum?'
'Teman-teman,'
sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak
ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'
Teman-temannya
mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah
lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu bertanya
pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang
senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang
menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit
itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?'
Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan
menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi
kita semua!'
'Saudara-saudara,'
jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'
'Kami
setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.
Tamlikha
lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya
berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang
temannya.
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya,
'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7
farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki
sejauh itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?'
'Aku
mempunyai semua yang kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat
wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti
melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian
itu!'
'Ah…,
susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak
boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?'
'Ya,' jawab penggembala itu.
Tamlikha
dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku
hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan
segera kembali lagi kepada kalian.'
Tamlikha
bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Waktu
cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri
lagi sambil berkata, "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai
saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat
seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir
kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta
kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing
itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali,
'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi
tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga
kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada
Allah SWT.'
Anjing
itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak
mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."
Pendeta
Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil
berkata, "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"
Imam
Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid,
atau disebut juga dengan nama Kheram!"
Ali
bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara tiba-tiba di depan gua itu
tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan
buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu
malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi
mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk
menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut
supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT
mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu
ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam
orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada
para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!'
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu.,
Dalam
gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah
masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang
lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata
air!'
Setelah
mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering
kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT
membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara
kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa
mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.'
Tamlikha
kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan
ambillah bajuku ini!'
Setelah
Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan
ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui
jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain
Allah dan Isa adalah Roh Allah.'
Komentar
Posting Komentar