Kisah Ashabul Kahfi – Misteri #part3
Tamlikha
berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata
seorang diri, 'Kusangka aku ini masih tidur!' Setelah agak lama memandang dan
mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum
pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja
rot, 'Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual
roti itu.
'Siapakah
nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.
'Kalau yang kau katakan itu benar,' kata Tamlikha,
'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan
kepadaku!'
Melihat
uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu
uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat."
Pendeta
Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi
Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan
kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Imam
Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang
baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham
baru!"
Imam
Ali kemudian melanjutkan ceritanya, "Penjual Roti lalu berkata kepada
Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan
harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku
hadapkan kepada raja!'
'Aku
tidak menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari
yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian
meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'
Penjual
roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta karun
masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau
telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan,
padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan
begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'
Tamlikha
lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang
yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang
membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita tentang orang ini?' 'Dia menemukan harta
karun,' jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada
Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan
supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah
yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.'
Tamlikha
menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah
penduduk kota ini!'
Raja
bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut
Tamlikha.
'Adakah
orang yang kau kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.
'Coba
sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang
lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh
orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama
orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai
rumah di kota ini?'
'Ya,
tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'
Raja
kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha
mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya
di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'
Pintu
rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia.
Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir
menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu
bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian ada perlu apa?'
Utusan
raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya!'
Orang
tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya,
'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'
Orang
tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi namanya.
Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap.
'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang
melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya
dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta
langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka
kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!'
Peristiwa
yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang
berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun
dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak
beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, 'Hai
Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'
Kepada
mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada
masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama
Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu
bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,"
demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
"Teman-teman
Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha
berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir
kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya
senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua.
Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan
menemui dan memberitahu mereka!'
Semua
berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat
Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur bagi Allah yang
telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'
Tamlikha
menukas, 'Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah
kalian tinggal di sini?'
'Kami
tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.
'Tidak!'
sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius
sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti,
dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka
sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'
Teman-teman
Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini
orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?' 'Lantas apa yang kalian
inginkan?' Tamlikha balik bertanya.
'Angkatlah
tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,' jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, 'Ya
Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan
yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan
orang lain!'
Allah
SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut
kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua
orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar
selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat
ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang
bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua
orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni
gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan
yang beragama Islam lalu berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.'
Sedang
bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, 'Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'
Dua
orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata,
akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama
Islam."
Sampai
di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian
berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai
Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku
hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa
yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta
Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak
mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan
dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas
Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam
menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib
dari Rasul SAW.
Komentar
Posting Komentar