Kisah Umar Ibn Al-Khothob
Malam telah pekat, selimut-selimut semakin dirapatkan para
pemiliknya untuk menambah lelap. Angin
sahara menderu akrab ditelinga, dingin menusuk, kesunyian hadir sejak tadi. Dia
mengendap-endap keluar dari petak rumah sederhana, menyusuri setiap lorong
perkampungan Madinah. Jubah kumal bertambalan itu menemaninya pergi.
Ditajamkannya pendengaran, adakah rakyatnya menyelami derita yang luput dari
perhatian. Diawaskannya mata, terdapatkah rakyat alami duka akibat
kepemimpinannya. Jika dia berlalu dan mendengar dengkuran halus pemilik rumah,
senyuman menemaninya berpatroli.
Sendirian, dia memamah malam, langkahnya berjinjit khawatir
mengganggu istirahat rakyat yang begitu dicintai. Dari setiap detik yang
mengalir, selalu kecemasan yang membayang di wajah pemberaninya, jangan-jangan di rumah ini
ada janda dengan anak-anak yang kelaparan, atau khawatir di rumah selanjutnya
orang tua terkapar kesakitan tanpa sanak saudara, adakah di rumah itu yang
sakit hati karena pajak terlalu tinggi. Sendirian dia menikmati paruh malam,
menyulam harapan keadaan rakyat sentosa senantiasa, merajut do’a agar rakyat
dibawah naungan perlindungannya dilingkupi pilinan kedamaian.
Langkahnya terhenti, ketika beberapa wanita
terdengar bersenandung, dari bilik sebuah rumah: Adakah jalan untuk minuman
memabukkan, Dan aku akan
meminumnya Atau adakah jalan, Kepada Nashr bin Hajjaj? Saat itu, dia berdiam
lama, menghafal sebuah nama asing dalam hatinya, Nashr bin Hajjaj. Selanjutnya
patrolinya dilanjutkan, hingga waktu fajar sebentar lagi menjemput.
Pagi harinya, dia mencari tahu nama yang didapatinya tadi malam.
Salah seorang pembantunya menghadapkan seorang laki-laki dari suku Sulaym,
Nashr bin Hajjaj. Berdiri tegap sang pemuda. Dia memandangnya lekat. Pemuda
yang menakjubkan, ketampanannya mempesona, rambutnya indah. Dia mengingat syair
wanita semalam. Akhirnya sang pemuda diperintahkan untuk memotong rambut,
ketika kembali, Nashr tampak lebih tampan, dia pun menyuruhnya mengenakan ikat
kepala, kali ini pun Nashr terlihat lebih mempesona. Khawatir menimbulkan
banyak fitnah dan kemudharatan di tempat berdiamnya selama ini, Dia pun
mengamanahkan Nashr tugas mulia, menjadi anggota pasukan tentara dengan jaminan
kehidupan yang lebih baik. Wajah Sang pemuda pun berbunga.
Siapakah dia, yang sangat khawatir terjadi kerusakan akhlak para
wanita hingga memikirkan solusi terbaik dengan memindahkan Nashr? Tebak, siapa
pemimpin yang begitu tulus mencintai rakyatnya dengan berjalan dari satu lorong
ke lorong yang lain untuk mencari tahu adakah rakyatnya yang tidak dapat tidur
nyenyak? Ya, saya sepakat denganmu sahabat, Dia adalah Umar
Bin Khattab, khalifah kedua bergelar amirul mu’minin, pemimpin bagi orang-orang
mu’min. Begitu Mahsyur.
Suatu periode dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu.
Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun.
Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat
berpijak hampir menghitam seperti abu.
Putus asa mendera dimana-mana. Saat itu, Umar sang pemimpin
menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat
diperhatikannya seksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari
diinstruksikan menyembelih onta-onta potong dan disebarkan pengumuman kepada
seluruh rakyat. Berbondong-bondong ribuan rakyat datang untuk makan. Semakin
pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar,
lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui
kehancuran ditangan ini”.
Sejarah menorehkan kisah Umar yang mengharamkan daging, samin
dan susu untuk perutnya, khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si
pemberani itu hanya menyantap minyak zaitun dengan sedikit roti. Akibatnya,
perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak
itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan
berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya
berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, hingga
rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar”.
Tahun abu pun berlalu. Daerah kekuasaan Islam bertambah luas,
pendapatan negara semakin besar. Masyarakat semakin makmur. Apakah umar
berhenti berpatroli? Masih dengan jubah kumal, umar didampingi pembantunya
berkeliling merambahi rumah-rumah berpelita. Kehidupan keluarga umar, masih
saja pas-pasan. Padahal para gubernur di beberapa daerah hidup dalam kemewahan.
Para sahabat, mulai berkasak-kusuk, mereka mengusulkan untuk memberi tunjangan
dan kenaikan gaji yang besar untuk Umar. Namun, para sahabat tidak berani
menyampaikan usul ini langsung kepada umar. Lewat Hafsah putri Umar, yang juga
janda Rasulullah, usul ini disampaikan. Sebelumnya mereka berpesan supaya tidak
disebut nama-nama mereka yang mengusulkan.
“Siapa mereka yang mempunyai pikiran beracun itu, akan ku
datangi mereka satu persatu dan menamparnya dengan tanganku ini,” berangnya
kepada Hafsah. Selanjutnya tatapannya meredup, dipandanginya putri kesayangan
itu, “Anakku, makanan apa yang menjadi santapan suamimu, Rasulullah?” Hafsah
terdiam, pandangannya terpekur di lantai tanah. Ingatan hidup indah bersama
sang purnama Madinah, tergambar. Terbata Hafsah menjawab, “Roti tawar yang
keras, ayah. Roti yang harus terlebih dahulu dicelup ke dalam air, agar mudah
ditelan”.
“Hafsah, pakaian apa yang paling mewah dari suamimu,” seraknya
masih dengan nada kecewa. Hafsah semakin menunduk, pelupuk mata sudah
tergenang. Terbayanglah tegap manusia sempurna, yang selalu berlaku baik kepada
para istrinya. “Selembar jubah kemerahan, ayah, karena warnanya memudar. Itulah
yang dibangga-banggakan untuk menerima tamu kehormatan”. Pada saat menjawab,
kerongkongan Hafsah tersekat, menahan kesedihan.
“Apakah, Rasulullah membaringkan tubuh diatas tilam yang empuk?”
pertanyaan ini langsung dipotong Hafsah “Tidakk!” pekiknya. “Beliau berbantal
pelepah keras kurma, beralaskan selimut tua. Jika musim panas datang, selimut
itu dilipatnya menjadi empat, supaya lebih nyaman ditiduri. Lalu kala musim
dingin menjelang, dilipatnya menjadi dua, satu untuk alas dan bagian lainnya
untuk penutup. Sebagian tubuh beliau selalu berada diatas tanah”. Saat itu
meledaklah tangis Hafsah.
Mendengar jawaban itu, Umar pun berkata, “Anakku! Aku, Abu Bakar
dan Rasulullah adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama. Mengapakah
jalan yang harus kutempuh berbeda? Musafir pertama dan kedua telah tiba dengan
jalan yang seperti ini.” Selanjutnya Umar pun menambahkan “Rasulullah pernah
berkata: Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan untuk hari akhir.
Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang berpergian pada musim
panas. Ia berlindung sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat
meninggalkannya”.
Pada saat kematian menjelang lewat tikaman pisau Abu Lu’Lu’a,
budak Mughira bin Syu’bah, ringan ia bertutur, “Alhamdulillah, bahwa aku tidak
dibunuh oleh seorang muslim”. Mata yang jarang terlelap karena mengutamakan
rakyatnya itu menutup untuk selama-lamanya. Umar pun syahid, dalam usia 60
tahun. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raajiiun.
Komentar
Posting Komentar