Kemana Kau Gadaikan Prinsipmu?
Assalamu’alaikum,
Olla temen-temen.. lama gak cerita ya,, Dilla mau
cerita kejadian yang malu-maluin nih, aib memang. Tapi gak selamanya kita
ceritain yang manis-manis aja kan? Semoga temen-temen bisa ambil pelajaran dari
pengalaman ini.
Kisah ini berawal dari sebuah tugas mata kuliah tertentu
di semester dua. Ada tugas untuk menerbitkan artikel kita di media massa,
tepatnya koran. Beberapa teman di kelasku udah ada yang dimuat artikelnya di
koran. Wah, keren! Aku kalah cepat ternyata. Tapi sayangnya sejak 21 Mei aku
belum pulang ke kota tercintaku Cianjur, dan baru sempat pulang di minggu
tenang pada tanggal 7 Juni.
Aku mencoba mengirim via email ke beberapa koran lokal
daerah Bogor dan Cianjur. Yah, resiko gak pulang, pasti kirim via email.
Setidaknya usaha minimal itu yang baru bisa kulakukan.
Alhamdulillah malam tanggal 7 Juni nyampe rumah juga
ya,, sesuatu sekali. Temanku dari Cianjur yang kuliah di jurusan yang sama juga
pernah menghubungi koran lokal daerah kami, kata redaksinya sih dateng aja
langsung ke kantornya, gitu. Hm,
kepikiran buat dateng sih, tapi gak enak juga kalau barengan.
8 Juni siang awalnya aku mau pergi ke kantor harian di
Cianjur, karena di paginya aku udah menghubungi redaksinya, dan disuruh dateng
aja ke sana. Tapi ternyata ada sebuah kendala, jumat siang itu aku diminta
kakakku (teh Tita) untuk membantu mengerjakan tugasnya. Sedang asik [dusta
banget dil] mengerjakan tugasnya, Hadi (teman sejurusan yang dari Cianjur juga)
mengirim pesan menanyakan alamat tepat dimana kantor pemasaran harian Cianjur
ini. Aku jawab, lalu Hadi ngajak mau bareng atau engga ke percetakannya. Tapi
karena aku tengah asik mengerjakan tugas kakak dan merasa tidak enak kalau
dateng barengan, akhirnya aku bilang kalau aku gak dateng hari ini. Aku merasa
kurang nyaman aja dateng dengan visi yang sama “mau nyumbang artikel, dimuat ya
pak..” barengan gini, ntar disangka saingan. Yah, akhirnya kuputuskan untu
pergi hari Senin.
Sore hari aku sms Hadi gimana tadi ke kantornya, Hadi
bilang artikelnya pasti diterbitin, antara minggu ini atau minggu depan.
Huaaa,, keren, ngiri juga siih sebenernya. Terus Hadi bilang “padahal tadi
bareng dil, aku juga ngirim artikel yang Fadli.” What? Speechless aku. Ya
sudahlah, usaha masing-masing aja ya.. haha.
Oke, Senin pagi [jam 10 sih] aku pergi caw ke kantor
harian Cianjur, ketemu sama resepsionisnya, cantik banget. Setelah berbasa-basi
akhirnya dia minta soft copy artikelku. Terus teteh itu bilang kalau artikel
Hadi udah terbit kemaren, dan dengan senang hati teteh itu ngasih koran edisi
Minggu 10 Juni 2012. Wow! Artikel dengan judul “si Merah Penyembuh Luka” karya
Nurul Hadi dimuat! Keren..keren.. Setelah basa-basi lalalili akhirnya aku
pamit, sayangnya di sini tidak ada sistem konfirmasi apakah artikel kita dimuat
atau tidak, jadi ya mesti nunggu aja.
14 Juni 2012, mau gak mau mesti ke Jatinangor, ada acara
screening panitia PMB Fakultas. Yah, agak males sih , tapi di rumah juga gak
asik, disuruh ngerjain tugas teteh mulu,,,haha. Malam hari aku buka email. Ada
beberapa inbox. Salah satunya dari MAILER—pesanku unvalid ke salah satu koran
yang aku kirim,, yahhh,, sedih juga sih. Aku baca inbox lainya. Redaksi? Yeppe!
Dengan penuh semangat aku buka email dari redaksi salah satu harian di Bogor.
Berharap kabar baik. Aku buka dan isinya : “Mohon maaf artikel Anda belum bisa
kami muat karena space kami tidak mencukupi. Terimakasih atas partisipasi Anda
untuk mengirim karya Anda, kami nanti karya Anda selanjutnya.” Panjang dan
menyenangkan! Yah, setidaknya aku udah tau kalau artikelku gak akan dimuat di
harian ini, seenggaknya gak digantung ya.. haha [makasih konfirmasinya buat
redaksi harian RB,, kikikik].
Well, tinggal menunggu kabar dari harian Cianjur,
sebut saja CE. Tak berharap banyak sebenarnya, kalaupun nantinya dimuat aku
harap bukan sekedar mengejar nilai, tapi sebuah kebanggaan atas karya kita.
Jadi setelah itu aku cuek aja, tidak terlalu peduli kapan akan dimuat.
16 Juni 2012, aku tak pulang, begitupun Hadi. Hadi
sempat menanyakan apakah aku akan pulang, soalnya akalu aku pulang dia mau
nitip beliin koran, siapa tau artikel Fadli dimuat. Tapi entah kenapa aku tidak
bersemangat pulang, dimua atau tidak aku tidak terlalu peduli. Tapi merasa
kasihan juga kalau memang artikel Fadli dimuat terus gimana cara dapetin koran
yang mesti dibawa hari senini? Akhirnya aku posting di grup facebook anak-anak
Cianjur yang di Unpad (KWACI UNPAD_MEMBER ONLY). “Assalamu’alaikum, akang-teteh
siapa yang sedang di Cianjur dana berencana ke Jatinangor besok?” Alhamdulillah
responya cepat, dan aku dapet kontak kang Bayu. Aku hunbungin dia, minta
bantuan buat beliin koran Cianjur edisi 17 Juni, dan ketemu di Jatinangor. Sip.
Tak ada kendala [makasih kang Bayu]. Malam hari aku sempet kirim sms juga ke
teh Tita buat beli koran edisi Minggu. Dan dia hanya menjawab “Mangga, tapi
teteh kaluarna rada siang” Huuuuu. Tarik napas panjang aja, sabar-sabar.
17 Juni 2012, saatnya belajar buat besok! Tapi pagi-pagi
udah menggigil, kaki dingin banget, akhirnya jam 10 pagi aku tidur dan berniat
belajar setelah dzuhur. 11.54 ringtone panggilan masuk membangunkanku. Kang
Bayu? Setengah sadar aku jawab, intinya Kang Bayu bilang kalau koran CE tidak
terbit hari ini, “percetakanna bade rajaban ceunah.” Well, cukup membuatku
geli. Yaaaah, tak bisa berkata-kata. Setelah pembicaraan berakhir aku malah
ketawa ngakak. Sesuatu membuatku geli [apa coba? Geje!].
18 Juni 2012. Ujian! Asik banget! Susah! Ya Allah...
Cukup kaget karena banyak temanku yang artikelnya udah
dimuat. Diantara kami bertujuh, artikelku, Vira, Desy, dan Dita yang belum
dimuat. Alhasil/ kami berempat ikut ujian. Senangnya! Sore hari dapet sms dari
Vira. Ternyata ada oknum yang menawarkan jasa pemuatan artikel dengan imbalan
sebagai uang pelicin. Gak aneh sih, mereka yang dimuat artikel juga ada yang
pake cara ini. Vira mengirim pesan penawaran ini ke Dita, Desy, dan aku. Aku
tengah belajar dan sedikit kesal. Tanpa kubaca smsnya dengan benar aku jawab
“mau”.
Kesal kenapa? Tadi siang aku tanya teh Tita apakah dia
dapet koran yang aku pesen atau engga [niatnya ngecek doang, kan tau korannya
gak terbit]. Tapi apa jawabannya? “teteh kaluarna siang, janten teu kengeng nu
icalan koran”, ya Allah,, gitu banget siih. Dianggap apa aku, sulitkah
permintaanku untuknya melangkahkan kakinya ke loper koran? Kalau inget gimana
seringnya aku ngerjain tugas dia tapi dianya gini, jadi pengen nangis. Dan di
bawah tunggangan syaitan, aku luapkan kekesalan itu di akun twitterku. Walaupun
aku tak menyebut namanya atau kejadiannya, tapi ya keliatan aja kalau aku lagi
kesel. Astagfirullah.
Setelah membalas pesan Vira aku tersadar. Mana
prinsipmu??? Dari awal niatnya pengen main bersih, gak mau pake cara kotor.
Tapi kalau finalnya dieksekusi dengan cara macam gini? Kemana aku gadaikan
prinsip “maen bersih” ini? Tapi gak enakn juga ke Vira, soalnya dia udah deal
sama jokey-nya. Ya sudahlah, dosa tanggung masing-masing kok.
Niatnya mau maen bersih. Kakak pertama aku (Kak Kamal)
sebernya punya kenalan banyak di salah satu koran Jawa Barat, padahal kalau
niat gak bersih dari awal aku bisa minta bantuan dia. Tapi aku gak mau! Gak
mau! Tapi akhirnya? Apa bedanya aku sama koruptor coba?
Ketika
prinsipmu diuji dengan nilai duniawi dan kau tak dapat mempertahankan, itu
adalah kekalahan besar.
Well, 12 Juni artikel Vira dan Dita terbit di harian RS,
dan artikelku dan Desy terbit 13 Juni di harian RB (bukan RB yang kayak di atas
yaaaa, beda lagi). Bangga? Engga sama sekali! Muak aku baca untaian kata unyu
yang akhirnya kayak untaian jalan ke neraka. Masya Allah, maafkan aku kata-kata
nuah pikiran yang kubuat dan ingin ku halalkan malah ternodai hanya dengan segelintir
uang demi sebuah “huruf” yang akan tertera di transkrip nilaiku.
Teman-teman, sedih sih karena prinsip tidak bisa
dipertahankan gara-gara ini. Padahal udah lama aku mempertahanknya, tapi
perdana ini aku maen kayak gini. Dan gak asik!
Tapi ada satu hal yang menjadikan semangat untukku.
Aku jadi ketagihan buat nulis dan publish di media massa. Suatu hari nanti
harus ada artikel atas namaku yang diterbitkan atas dasar ‘kelayakan” bukan atas
dasar ‘keadaan’..
Jadi inget dulu pas SD beberapa kali sempet ngirim cerpen
anak-anak ke majalah Bobo, sempet sekali dimuat! Tapi waktu itu aku tak
menuliskan alamat asliku, aku tulis alamat temanku karena aku takut kalau
mamah-papah tau [kenapa takut coba?].
Kadang heran, Dilla yang sekarang tak seantusias dulu.
Kenapa ya? Karena keadaan-kah? Karena lingkungan-kah? Atau harimau dalam diriku
tengah tertidur atau mungkin sudah mati? Entahlah.
Terimakasih sudah bersedia membaca celotehan panjang
ini teman-teman.
Semoga kalian menjadi pendengar dan pembaca yang baik yang
bisa mengambil pelajaran dari setiap kisah hidup anak manusia.
Komentar
Posting Komentar