Terimakasihku Guruku
Cianjur, 23 Juli
2012
Selamat Hari Anak
teman-teman. Bagaimana hari ini? Apa yang sudah bisa teman-teman perbuat untuk
orang tua? Semoga apa yang kita perbuat bernilai ibadah ya. Aamiin.
Pagi ini rencananya
Dilla kembali ke kampung. Eits. Ke kampung ya, bukan ke kampung halaman.
Hahaha. Yup! Hari ini saatnya kembali menjadi petapa kosan dan kampus. Masih
pagi sih buat ke Jatinangor, akhirnya Dilla putuskan untuk silaturahmi ke
sebuah tempat dimana selama 6 tahun Dilla menjajakinya. Yup! Ke sekolah dasar.
Oh my lovely SDN Pasirhayam. Begitu masuk
melewati gerbang, terasa ada yang berbeda. Luas sekolahku terasa sempit [emang aku yang ngegedein kali ya]. Dan ada yang hilang! Bangunan Belanda yang tua ternyata sudah
dipugar dan diratakan menjadi lapangan. Huaaa. Sedih juga sih, tapi ya udah
dipugar mau gimana lagi, masa panggil Doraemon buat pake alat yang bisa
memperbaiki barang yang rusak?[ngarang!]
Mulai ngintip ke
kantor. Ya Allah, ternyata Bu Nina ada! Ah, senang sekali. Guru favoritku
ternyata hari ini mengajar. Karena mati gaya gak tau mau ngapain, akhirnya aku
duduk di depan ruang kelas VI dan memperhatikan aktivitas anak-anak di sana.
Ramai sekali, banyak ibu-ibu yang nganter pula. Sekitar 20 menit aku menunggu
Bu Nina, tapi tak kunjung muncul dari dalam kantor, khawatir kecolongan kalau
Bu Nina pulang, akhirnya ku hampiri ruang kantor itu. Guru pertama yang ku sapa
adalah Bu Enok. Beliau adalah guru olahragaku. Sepertinya Bu Enok tidak terlalu
mengenaliku. “Bade ka saha neng?” tanyanya. “Bu Nina aya ibu?” jawabku.
Tiba-tiba Bu Enok menyadari sesuatu, “Eh? Ieu teh Dilla sanes?”, “Muhun Ibu.”,
“Aduh, pangling. Sok antosan heula Dil. Bu Nina-na nuju nyandak absen.”
Akhirnya aku menunggu, yah walaupun berdiri. Lalu Bu Enok masuk dan memanggil
Bu Nina. Betapa terkejutnya Bu Nina mendapati kehadiranku.
Bu Nina bertanya
alasan aku datang ke sana. Jujur sih ibu, aku kangen banget sama Ibu, kangen
belajar sama Ibu. Lalu Bu Nina tersenyum. Setelah itu Bu Nina bercerita [ini cerita agak terlalu muji aku sih, maaf yaaa]. Bukan maksud sombong ya teman-teman, tapi Dilla bersyukur ternyata
Dilla memberikan kenangan spesial buat Bu Nina. Bu Nina menjadi wali kelasku di
kelas IV dan VI. Bu Nina bilang kalau
Ibu senang dan terharu karena ternyata masih ada anak didiknya yang mau
bersilaturahmi, masih mengenang dan merindukannya. Ibu bilang kalau kelasku
adalah kelas paling berkesan selama ibu mengajar. Alasannya karena anak kelas
kami aktif, gampang diajak ke mana-mana, antusias, peduli satu sama lain, dan sering
membuatnya bangga karena berbagai prestasi dari tiap anggota kelas kami. “Saatosna
Dilla mah, ibu teh teu mendak deui kelas nu jiga kitu teh.” Terharu
mendengarnya. Ah, terimakasih Ibu, kau masih menyimpan rekat memori kami. Pukul
9.00 waktunya ibu mengajar. Bu Nina mengajakku untuk mengajar kelas barunya,
kelas IV. Namun dengan segera aku meminta izin untuk duduk di belakang, ingin
mengenang kesan-kesan saat dididik Ibu. Bu Nina tersenyum, “Hayu atuh Dil.” Ku
ikuti langkahnya menuju ruang kelas IV.
Ku duduk di
belakang, walaupun tempatnya tidak sama dengan kelasku dulu, tapi di depan sana
ada Bu Nina, dan itu yang tidak merubah situasi mengesankan itu. Bu Nina
mengabsen siswa satu persatu. Mereka menatapku sambil tersenyum, entah apa yang
meraka ukir di balik senyumannya. Mungkinkah mereka
berpikir kalau aku “anak telat lulus”? hahaha. Gak boleh
suudzhan yaa. Bu Nina memperkenalkanku pada siswa kelas VI B. Mereka menyapaku.
Ah, senangnya melihat muka polos mereka.
Masih duduk di
belakang, Bu Nina menyampaikan nasihat-nasihat mengenai ibadah di bulan puasa.
Persis! Persis dengan apa yang beliau lakukan pada kami saat kami kelas IV
dulu. Cara mengajarnya yang khas membuatku tersenyum. Dengan bahasa sundanya,
beliau memberikan petuah yang –keibuan— banget! Setelah memberikan nasihat,
masuk ke pelajaran wajib konsumsi tiap hari. Matematika! Ya, aku ingat kalau
setiap hari kami mendapat mata pelajaran Matematika, sisanya hanya pelengkap
saja. Yah, mungkin ini salah satu alasan mengapa kadang aku merasa Matematika
pernah menjadi bagian dari jiwa. Selain di rumah mamah yang mewajibkan Matematika,
di sekolahpun aku dijejali Matematika. Yeah, it is not too bad. Seperti biasa,
siswa-siswa diberi waktu untuk menghapalkan perkalian, lalu ibu mengujinya.
Yup! Ada yang tidak berubah. Ibu menguji dan menanyai anak-anak
sambil membawa penggaris kayu 1 meter [tau kan ya?]. kembali aku tersenyum. Ingat saat aku sering dipercaya untuk
menggantikan ibu mengajar saat Ibu berhalangan hadir. Bisa seminggu full aku
yang ngajar temen-temen sekelas mulai dari Matematika, IPA, sampai IPS. Bak
seorang copier, akupun terbawa style dia. Dulu pas aku ngajar dan so-so-an
ngetes temen sekelas, akupun bawa penggaris kayu itu. Hahaha. Geli sendiri. Kalau dipikir-pikir, aku sadar, betapa sok dan belagunya aku
saat itu. Tapi mendapatkan kepercayaan untuk
menggantikan Bu Nina mengajar menjadi kenangan tersendiri bagiku. Aku tau
betapa pentingnya berbagi ilmu dengan teman-teman. Makasih Ibu.
Dan masih seperti
yang beliau lakukan pada kelas kami dulu. Selalu memberi soal, siapa cepat
mengerjakan tugas, dia yang dapet nilai. Eits, tapi jangan senang dulu. Cepat
dan benar saja tak cukup disini. Tulisan harus rapi! Ingat, dulu pas kelas IV aku sering kena zonk karena aku ngerjain duluan-bener-tapi
tulisan gak rapi. Yah,, batal pulang atau istirahat
duluan deh. Tapi dari sana aku belajar menulis lebih rapi [lumayan lah ya]. Dan saat kelas VI, aku udah gak
pernah dapet zonk lagi. Tapi yang aku lakukan jika diberi
izin istirahat lebih awal adalah, memanfaatkan waktu untuk sharing dengan teman
yang belum diberi izin istirahat. Hahaha. Lucu juga ya. Itu mungkin alasan
mengapa pas kelas VI tempat duduk se-mejaku ibarat angkot. Siapa aja yang mau,
ditarik saja. Hahaha. Sering banget duduk sama cowok, sama cewek juga [untung gak ada warior, eh waria maksudnya. hihihi].
Kuperhatikan sekitar,
saat mereka mengerjakan soal dari ibu, mereka masih individualis [yah, masih anak-anak mungkin ya?]. karena duduk di belakang, aku bisa memperhatikan mereka yang
pasang muka bingung karena tidak bisa mengerjakan soal. Akhirnya kuhampiri anak
yang duduk di depanku, namanya Endri. Aku tanya bisa apa engga, dia hanya
menggeleng. Kasihan dia duduk sendiri. Akhirnya kujelaskan semampuku, agak
kebingungan dan kelimpungan karena aku sulit menyampaikan bahasa seperti apa
yang ringan dan bisa dipahami anak seumuran mereka. Ku jelaskan sedikit,
Alhamdulillah dia rupanya cukup mengerti apa maksudku. Akhirnya kubiarkan dia
mengerjakan tanpa bimbinganku, hanya melihat dan sedikit mengoreksi. Dan jadi
membuka memori betapa nakalnya aku dulu. Pernah pas kelas VI aku dan beberapa
temanku tidak diizinkan masuk ke kelas selepas istirahat. Kami terlambat karena kami main kasti sampai tak mendengar bunyi
bel! Ahahaha. Bego banget ya waktu itu, nakal sekali
aku. Sampai jam pelajaran usai kami tak diizinkan masuk, dan saat bel pulang
berbunyi, saat anak-anak kelas menyaksikan sekoloni anak kelas VI dengan muka
takut di pojokan, akhirnya kami diizinkan masuk kelas dan dinasihati tentang
disiplin. Kalau aku ingat-ingat, waktu itu Bu Nina nasehatin kami sampe 2sks
kuliah lah. Hihihi.
Selepas Ibu
mengajar, kami berjalan ke kantor. Bu Nina bercerita bahwa sampai saat ini
beliau kesulitan menerapkan kebiasan peduli pada teman. “Ibu mah ningal
angkatan Dilla teh teu masing-masing. Silih ngejejehkeun jeung babaturan teh.
Tah nu kitu teh hese Dil nepi ka ayeuna.” Aku tersenyum, seindah itukah
kenangan kami untuk Ibu? Aku berjalan ke arah mejanya sambil meletakkan buku absensi
yang tadi beliau bawa. Betapa terkejutnya aku. Di meja beliau,
kudapati foto kami, Bu Nina dan aku, saat aku duduk di
kelas VII SMP. Aku sempat mendapatkan kejuaraan senam tingkat provinsi untuk
kategori perorangan, dan pembimbing sekaligus pelatih senamku adalah beliau, Bu
Nina Harsinah. Foto kami yang tersenyum sambil memegang sebuah medali yang
akhirnya ku sumbangkan ke SD-ku. Dan hanya foto itu yang terpasang di meja
beliau. Ya Allah, hamba bersyukur karena hamba ternyata masih diingat beliau. Jadi
malu pada diri sendiri. Pernahkan aku memajang foto kenangan bersama beliau?
Tak pernah. Ya Allah, apa yang bisa hamba lakukan untuk membalas semua ini?
Entahlah, bullshit kalau aku bercuap-cuap tanpa aksi apapun. Langsung
speechless dan menangis dalam hati. Bu Nina, terima kasih..
Komentar
Posting Komentar