Ayahku yang Baik #Part1

Salah satu hal yang harus disegerakan oleh seorang ayah, menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , adalah menikahkan anak perempuan. Ia digandengkan dengan membayar hutang dan menguburkan jenazah. Yang satu tuntutan orang hidup, yang satu lagi tuntutanorang mati. Nah, yang soal menikah ini tintutan sehidup-semati barangkali.
“Barangsiapa memiliki anak perempuan yang telah mencapai usia dua belas tahun (usia baligh), kemudian ia tidak bersegera menikahkannya, maka jika anak perempuan itu melakukan suatu perbuatan dosa, dosanya akan ditanggung oleh sang ayah.” [HR Baihaqi, dari Anas ibn Malik].
Sekali lagi, saya tidak hendak mengajari anda untuk berdemo minta nikah pada orangtua. Tetapi berdialog selalu, berdiskusi dengan keduanya di waktu-waktu tertentu, adalah niscaya ketika kita menapaki kedewasaan yang jadi pilihan.
Akan ada masalah saya kira, akan ada benturan-benturan. Itu jika anda tidak segera menaikkan ‘posisi tawar’ di hadapan orangtua. Misalnya saat akan menyegerakan menikah nanti. Tentu anda harus menjelaskan banyak hal. Belum lagi soal walimahan. Anda tak ingin campur-baur tamu laki-laki dan wanita. Anda tak ingin ada musik-musik dan hiburan jahiliyah. Anda tak ingin ada prosesi-prosesi mubadzir yang penuh mitos. Anda tak ingin kedua mempelai berdua dipajang jadi tontonan. Anda tak mau melihat tamu makan sambil berdiri dan berjalan kaki. Itu semua keinginan  anda. Tetapi bagaimana perdapat orangtua? Jika mereka memegang teguh ‘adat-istiadat’, dengan didukung oleh elemen keluarga besar lagi, akan menangkah anda jika sekedar bersuara keras memaksakan kehendak?
Sederhana sebenarnya, kata salah seorang kakak kelas saya. Bagaimana mengkondisikan orangtua dengan nilai-nilai Islam yang kita yakini. Teruslah membiasakan berdialog dengan mereka. Satu kunci pasti, tetaplah intens dan kontinyu dalam frekuensi dialog. Setiap malam, setiap pagi, atau sepekan sekali. Tetapi jangan pernah menunjukkan sok kuasanya kita. Jangan memonopoli pembicaraan. Lebih banyaklah mendengar, meski tetap harus berpendapat. Sedikit demi sedikit, hingga tiba kondisi yang paling nyaman. Atau mungkin dengan cerita, seperti kakak kelas saya itu. Jadi, tiap pulang dari walimahan teman, ia pasti cerita kepada orangtua tentang detail-detail acaranya. Ini, harusnya kita piawai menyisipkan berbagai nilai syar’i.
Tetapi lebih dari itu, orangtua biasanya ingin melihat bukti, bahwa kita memang sudah layak untuk mengemban sesuatu. Bahwa kita memang mengalami aselarasi perbaikan diri – di mata mereka khususnya saat mulai faham nilai-nilai Islam. Bagaimana memberi bukti soal ini? Ah, anda lebih utama untuk menjawabnya.
Mudah-mudahan Allah membantu anda dan saya memahamkan keluarga. Selebihnya, bagaimana jihad anda bersama ayah dan bunda, menghadapi tekanan keluarga besar atau cibiran masyarakat. Sekarang, kita lihat figur para ayah hebat ini. Mungkin ini bisa jadi salah satu bahan diskusi anda bersama orangtua?


salim a fillah dalam buku “agar bidadari cemburu padamu”

Komentar

Postingan Populer