From Bandung-Cikijing with LOVE #part

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Hari ini saatnya perbolangan menuju Majalengka. Pagi ini ada ujian Anfisko [red : analisis fisiko-kimia] di Auditorium D6 mulai pukul 08.00-09.30 . Ujiannya…ehem! susah. .___. Apapun hasilnya, semoga tetep bisa diperbaiki, hihi. Aamiin. Setelah ujian, seharusnya hari ini jadwal kurve praktikum Fitokimia. Namun Dilla harus pergi ke Majalengka karena hari ini kakak pertama akan melaksanakan akad dan resepsi pernikahannya. Setelah izin ke dosen dan asisten laboratorium, akhirnya Dilla pergi menggunakan mobil ¾ jurusan Bandung-Cikijing.
Hap! Dapet kursi di jok belakang. Baru ada satu penumpang yang menempati jok belakang, sedangkan jok lainnya sudah terisi. Sebenarnya gerah sekali duduk di belakang, tapi ya sudahlah, syukuri saja. Kini Dilla bersama seorang bapak-bapak dengan usia yang sudah sangat matang. Mau tebak berapa usia beliau? 83 tahun. Masya Allah. Supaya terdefinisi, Dilla definisikan dengan kata – kakek – [walaupun saat berinteraksi Dilla panggil beliau “bapak”]. Kakek-kakek ini menggunakan sarung dan menenteng sebuah keresek kecil di tangan kanannya. Dilla bisa menebak apa yang ia bawa, dan ternyata tebakan Dilla tepat.
Mobil melaju melintasi ruas jalan Jatinangor-Tanjung Sari. Akhirnya Dilla berbincang dengan kakek ini. Dilla tanyakan dari mana beliau dan hendak kemana. Agak sulit memang karena harus mengulang pertanyaan yang sama. Dilla faham sifat alami manusia yang semakin tua, dengan panjang dan jumlah telomer yang semakin berkurang maka kemampuannya pun akan semakin berkurang. Akhirnya dengan suara serak dan sedikit kurang jelas beliau bercerita. Dari sepanjang perbincangan, inilah kisah yang ia bagikan hari ini pada seorang penumpang tengil yang mengajaknya berbincang.

Kakek berangkat dari Bandung tepatnya dari Leuwi Panjang dan beliau hendak pergi ke Majalengka untuk pulang. Kakek ini membawa keresek berisi kantong penampung urine. Dia sedang menggunakan kateter. Tanggal 02 Juni kemarin anak ketiganyanya menikah di usia kepala 3. Beliau bercerita bahwa beliau menikah di usia yang kelewat matang. Istrinya saat itu memiliki selisih usia cukup jauh dengan beliau. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Istrinya telah kembali setahun yang lalu. Setelah melahirkan anak ketiga, istinya mengalami kecelakaan pabrik yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Maka sejak saat itu istrinya menggunakan kursi roda, tidak memilih tongkat untuk membantunya berjalan. Anak pertama beliau meninggal di usia belia akibat penyakit kanker otak. Sungguh iba mendengar penuturan kisah beliau, betapa getir dan sulitnya kehidupan yang telah beliau jalani. Anak kedua adalah perempuan yang sekarang telah menikah, dan anak kedua ini sekarang menjadi seorang bidan di Majalengka. Anak ketiga beliau adalah laki-laki yang bekerja sebagai seorang guru di Bandung. Anak ketiga merasa memiliki tanggung jawab terhadap sang Ibu. Selain kakinya yang hampir lumpuh karena jarang digerakkan, sang ibu juga menderita kanker. Anak ketiga ini menggunakan semua gajinya untuk pengobatan ibunya, makanya dia belum terpikirkan untuk menikah saat itu. Segala ikhtiar telah dicoba untuk kesembuhan ibu, namun Allah berkehendak untuk memanggilnya setahun yang lalu. Akhirnya selama satu tahun sang anak menabung untuk biaya pernikahan, dan alhamdulillah ia menikah 02 Juni kemarin.
Sekarang kakek ini tinggal bersama anak kedua beserta menantu dan cucu-cucunya. Beliau menceritakan betapa dia bahagia karena anak-anaknya sangat mencintai kedua orangtuanya. Segala usaha telah ditempuh demi kesehatan sang ibu, anak kedua meskipun harus menampung beliau, tapi selalu memperlakukan beliau dengan penuh hormat dan kasih sayang. Masya Allah.
Beliau berpesan pada Dilla agar Dilla selalu menyayangi orangtua dan berusaha membahagiakannya. Dengan penerimaan kita dan kasih sayang kita di usia senja mereka, itu menjadi bagian dari kebahagiaan untuk mereka. Banyak kisah orang-orang kaya yang memilih memasukkan orangtuanya ke panti jompo karena mereka terlalu sibuk mengurusi orangtua. Sangat disayangkan.
Pesan kedua yang beliau sampaikan jika nanti berrumah tangga, akan banyak perbedaan yang muncul jika dibandingkan saat awal perkenalan. Jika kita tidak bisa menerima kekurangan pasangan kita tentulah akan banyak muncul kekecewaan kita terhadap pasangan kita. Tapi terimalah. Pasangan kita adalah cerminan dari diri kita sendiri. Hidup berrumah tangga sangatlah rumit namun sangat indah. Banyak masalah yang harus dihadapi bersama, ditanggung bersama, dan dijawab bersama. Beda saat masih membujang, semua dihadapi sendiri dan orangtua. Tapi setelah menikah, kedewasaan akan terakselarasi dengan sangat cepat. Kakek sendiri sempat menyesal mengapa menikah di usia terlalu matang, tapi ya ini sudah terjadi. Allah punya rencana yang indah. Meskipun menikah di usia tua, tapi dia mendapatkan istri yang baik, cerdas, dan penuh kasih sayang.
Setelah asyik bercerita, suasana hening. Dan Dilla ketiduran. Haduh..maaf yah pak. Saya sangat tidak sopan .___.
Saat beliau bercerita, Dilla jadi teringat papah. Papah juga semakin tua, papah juga sekarang lagi dipasang kateter. Yaa Allah~ beri hamba waktu untuk bisa membahagiakan kedua orangtua hamba sebelum Engkau memanggil mereka, atau sebelum Engkau memanggilku.
Terima kasih untuk kisahnya hari ini pak. Maaf Dilla tidak menanyakan nama bapak. Semoga bahagia kehidupan bapak.. Aamiin.

Sumedang, 05 Juni 2013 [ditulis 06 Juni 2013]
dwn

Komentar

Postingan Populer