Ada Saatnya Hujan itu Berhenti

Bismillahirrohmaanirrohiim

Alhamdulillah, kali keempat bisa bertemu dan menyapa -bapak- itu di pagi hari. Sampai saat ini, belum juga kuketahui namanya. Entahlah, tak cukup memahami mengapa lidah ini begitu kaku saat hendak bertanya pada -bapak- itu. -bapak- itu, ya beliau ada bapak tuna wisma yang sering beristirahat di pinggiran jalan dekat kosan mbak Firdha. Bapak-bapak yang awalnya ku takuti karena dulu ku sangka dia orang yang hilang akal, namun ternyata ke-suudzan ini terjawab mana kala pada suatu pagi selepas mencari pengganjal perut, kuberanikan diri menyapa -bapak- itu sambil membawa sekotak bubur berikut minuman dan susunya. “Assalamu’alaykum, Pak. Bapak sudah sarapan?” Tanyaku dengan sedikit ragu. Diluar dugaan, tenyata -bapak- itu menjawab pertanyaanku. Sambil tersenyum, beliau berkata “Belum, Nak.” Sedikit tercengang dan kikuk melanjutkan pembicaraan, “Hmm..Bapak, ini saya ada sedikit makanan untuk bapak sarapan. Bapak bersedia menerimanya?” Lalu bapak itu tersenyum sembari mengangguk mengiyakan. Astagfirulloh. Selama ini suudzan, maafkan hamba yaa Alloh :(
Kali kedua, jeda sekitar seminggu dari pertemuan pertama, dengan sekotak makanan, pagi ini diceriakan melihat senyum -bapak-. Kali ketiga sedikit berbeda, dengan dua bungkus nasi kuning, kami menghabiskan sarapan bersama. Di pinggir jalan, disapa asap damri, angkot, dan beberapa mobil pengangkut dengan ukuran besar yang gasnya merusak kesegaran udara di pagi hari. Meski dengan waktu kebersamaan yang relatif lebih lama, namun tetap saja tidak banyak obrolan yang berani kuutarakan. Tak banyak kata-kata yang terlontarkan untuk mencairkan suasana. Banyak pertanyaan di otak, hanya saja semua tertahan di kerongkongan. Dan pagi ini, setelah menikmati sarapan pagi, kutemui lagi -bapak- itu, masih dalam kondisi yang tidak jauh berbeda, tempat dingin, kotor, dan sedikit kurang nyaman untuk pernapasan. Tempat -bapak- beristirahat di Jatinangor ini hanya beratapkan langit, dan berlantaikan tanah. Untuk tidurpun kadang -bapak- memanfaatkan trash bag bekas barang-barang atau bekas sampah yang sengaja dia cuci. Pernah sekali kutawarkan sleeping bag namun -bapak- menolak dengan alasan “terlalu bagus, Nak” Yaa Alloh :”(
Aku tak tahu berapa usia -bapak- ini. Hanya saja saat melihatnya, aku sering teringat Papah di rumah. Sempat terpikir “Bagaimana jika ternyata aku ditakdirkan sebagai anak -bapak- itu?” Pernahkah kau membayangkan menjadi bagian terpenting dari kisah mereka? Dengan kehidupan kita yang sekarang, pernahkah membayangkan jika kau adalah orang lain dengan takdir yang sangat berbeda? Rasa bersyukur selalu muncul lebih manakala menyaksikan pemandangan seperti ini. Alhamdulillah Papah yang meskipun sudah renta tapi masih memiliki tempat bernaung. Papah yang masih sakit tapi masih bisa dirawat Mamah dan anak-anaknya.
Setiap orang dilahirkan bersama takdir yang telah tertulis. Takdir itu bisa kita ubah tergantung usaha dari kita. Saat bersama dengan -bapak- ini sempat terpintas pertanyaan “Mengapa aku belum bisa menjadi solusi atas masalah yang timbul di masyarakat?” Ingin rasanya bergerak dan membantu, tapi bingung harus mulai dari mana dan harus bersama siapa agar bersama-sama membantu memecahkan masalah seperti ini. Tapi aku yakin, masalah ini pasti ada penyelesaiannya. -bapak- itu pasti akan segera mendapatkan solusi. Bisa jadi melalui tangan orang lain, atapun dari tanganku langsung. Percayalah, akan ada saatnya dimana hujan reda dan berhenti. Percayalah, akan ada saatnya dimana masalah terselesaikan…

Jatinangor, Kamis 17 April 2014
-dwn-

Komentar

Postingan Populer